Yang saya tahu pasti, rumah sakit itu
dibangun pada 1887. Itu tertera pada pintu gerbangnya yang gagah: Anno
1887. Awalnya namanya tentu bukan Dustira, karena dibangun di zaman
kolonial Belanda. Pembangunannya tentu bersamaan dengan pembangunan
fasilitas militer lainnya di Cimahi jadul. Sudah jadi cerita umum,
Cimahi memang dipersiapkan Belanda sebagai kota militer penyangga
Bandung saat Gubernur Jenderal berniat memindahkan ibukota Hindia
Belanda dari Batavia ke Bandung.
Mengapa saya penasaran dengan asal-usul
Dustira? Teman saya, Dore, pernah bercerita soal rumah sakit ini.
Kebetulan bapaknya, kerja puluhan tahun di rumah sakit itu. Dustira
adalah nama seorang dokter di zaman kemerdekaan. Yang menggiriskan,
cerita Dore belasan tahun lalu itu, Dustira meninggal karena bunuh
diri. Hah, benarkah cerita itu?
diri. Hah, benarkah cerita itu?
Cerita tentang akhir hidup Dustira itu
yang terus berputar di kepala saya sampai sekarang. Semua serba blank.
Patung dada di depan aula sebelah barat yang saya kira Dustira, ternyata
bukan. Itu aalah patung dada Singawinata,kepala RS Dustira pertama
setelah diserahkan dari Belanda ke tangan Indonesia.
Tak hanya soal kisah akhir hidup Dustira
yang mengundang penasaran, rumah sakit ini pun sejak lama diketahui
memiliki cerita-cerita horor. Maklum, peninggalan Belanda. Masih menurut
cerita Dore, kejadian ini menimpa bapaknya main tenis meja di aula
bersama beberapa rekannya. Saat asyik-asyiknya main, tiba-tiba saja
ngabelegedeg (apa
tuh..kira-kira artinya muncul secara mendadak), ada sosok tubuh jangkung dan bule melintas di depan mereka. Wah, saat nulis soal ini bulu kuduk saya ikutan merinding. Sontak saja mereka berhenti bermain, melotot melihat si jangkung bule itu melenggang seperti orang, eh hantu, tak punya dosa. Jangan ditanya bagaimana akhirnya, karena mereka langsung kocar kacir tak karuan menyelamatkan muka biar tidak dibilang
penakut.
tuh..kira-kira artinya muncul secara mendadak), ada sosok tubuh jangkung dan bule melintas di depan mereka. Wah, saat nulis soal ini bulu kuduk saya ikutan merinding. Sontak saja mereka berhenti bermain, melotot melihat si jangkung bule itu melenggang seperti orang, eh hantu, tak punya dosa. Jangan ditanya bagaimana akhirnya, karena mereka langsung kocar kacir tak karuan menyelamatkan muka biar tidak dibilang
penakut.
Ada pula cerita suster jaga malam yang
bertemu seorang perempuan berambut pirang di dekat lorong ruang
perawatan. Tempat itu berada di sebelah timur, dekat ke tempat
penampungan air. Sang suster mengira si wanita berambut pirang itu
adalah pasien. Namun begitu melihat si wanita itu berjalan ke arah
tempat air dan menghilang, sang suster langsung syok. Mungkin itu hantu
Noni-noni Belanda yang pernah dirawat
di situ. Ah, benar atau tidak cerita itu, saya tidak tahu. Namanya juga cerita, dongeng.
di situ. Ah, benar atau tidak cerita itu, saya tidak tahu. Namanya juga cerita, dongeng.
Sampai akhirnya saya membaca tulisan
dosen saya, Prof Dr Nina Herlina Lubis di Pikiran Rakyat, pagi tadi. Bu
Nina menulis soal peranan dokter dalam perjuangan kemerdekaan dan satu
yang dibahas agak mendalam adalah Dustira. Bagaimana sejarah rumah sakit
militer dan siapakah dr Dustira ini?
Dalam tulisan Bu Nina disebutkan, Rumah
Sakit Militer Cimahi didirikan pada 1887. Pada masa pendudukan Jepang
(1942-1945), rumah sakit ini dipergunakan sebagai tempat perawatan
tawanan tentara Belanda dan perawatan tentara Jepang.
Pada 1945-1947, rumah sakit ini dikuasai
NICA. Setelah pengakuan kedaulatan RI oleh pemerintah kerajaan Belanda
(1949), Militaire Hospital diserahkan Belanda kepada TNI yang diwakili
Letkol dr Rd K Singawinata. Sejak saat itu, namanya diubah menjadi RS
Territorium III dan Singawinata diangkat sebagai kepala rumah sakit.
Pada Mei 1956, dalam rangka HUT
Territorium III/Siliwangi ke-10, RS itu diberi nama RS Dustira oleh
Panglima Territorium III, Kolonel A Kawilarang, sebagai penghargaan
terhadap jasa-jasa Mayor dr Dustira Prawiraamidjaya.
Dustira dilahirkan di Tasikmalaya pada 25
Juli 1919 sebagai anak Rd S Prawiraamidjaya. Pendidikan yang
ditempuhnya dimulai di Europeesche Lagere School (ELS) di Bandung,
kemudian dilanjutkan ke Hogere Burger School (HBS), lima tahun di
Bandung. Selanjutnya ia menempuh pendididikan di Sekolah Tinggi
Kedokteran di Jakarta (Geneeskundige Hogeschool, di zaman Jepang disebut
Ika Daigaku).
Pada 1945, semua mahasiswa tingkat akhir
Ika Daigaku, termasuk Dustira, menyatakan ingin turut berjuang di front
Surabaya yang sedang bergolak. Namun keinginan itu ditolak dan mereka
diperintahkan menunggu perkembangan selanjutnya. Para mahasiswa tingkat
akhir itu lulus dan diberikan ijazah dokter, lalu dilatih kemiliteran di
Tasikmalaya sekitar dua minggu.
Selesai pendidikan kemiliteran, dr
Dustira ditugaskan ke Resimen 9 Divisi Siliwangi yang menguasai front
Padalarang, Cililin, dan Batujajar. Waktu itu, semua serba kekurangan,
baik personel maupun obat-obatan. Dustira berusaha siang malam menolong
korban peperangan di front.
Melihatnya banyaknya korban yang jatuh,
baik sipil maupun pejuang, Dustira merasa sedih, karena tidak bisa
memberikan pertolongan dengan sebaik-baiknya. Ketika terjadi kecelakaan
kereta api di Padalarang dengan korban ratusan penumpang, Dustira
berusaha menolong, namun obat-obatan terbatas. Melihat begitu banyak
korban, tanpa dapat
memberikan pertolongan yang memuaskan hatinya sebab kekurangan obat, mengakibatkan tekanan mental yang luar biasa bagi dr Dustira.
memberikan pertolongan yang memuaskan hatinya sebab kekurangan obat, mengakibatkan tekanan mental yang luar biasa bagi dr Dustira.
Akhirnya karena kelelahan fisik dan mental, dr Dutira jatuh sakit. Ia dirawat di
RS Immanuel di Situ Saeur Bandung. Namun jiwanya tidak tertolong lagi dan pada 17 Maret 1946, ia di meninggal dan dikebumikan di Pemakaman Umum Astanaanyar. Pada 8 Maret 1973, kerangkanya dipindahkan ke TMP Cikutra Bandung.
RS Immanuel di Situ Saeur Bandung. Namun jiwanya tidak tertolong lagi dan pada 17 Maret 1946, ia di meninggal dan dikebumikan di Pemakaman Umum Astanaanyar. Pada 8 Maret 1973, kerangkanya dipindahkan ke TMP Cikutra Bandung.
Begitulah cuplikan tulisan artikel Bu
Nina. Itu fakta sejarah, walau saya tidak tahu dari mana sumber tulisan
itu karena Bu Nina tidak mencantumkannya. Jika fakta itu kita kaitkan
dengan cerita teman saya yang menyebutkan Dustira meninggal secara
mengenaskan, rasanya kok ada persinggungan di situ. Bu Nina menuliskan
Dustira mengalami tekanan mental yang luar biasa. Ini berasal dari
perasaannya yang begitu welas asih, melihat korban perang bergelimpangan
namun tak mampu menolong secara maksimal.
Kelelahan fisik dan mental itu membuat
Dustira sakit. Sayang tidak disebutkan, bagaimana Dustira meninggal.
Apakah saat terbaring tidur di ruang perawatan, atau bagaimana. Apakah
kemudian cerita Dore itu yang benar? Ketika sakit, mungkin di puncak
rasa putus asa tidak bisa menolong orang, Dustira memutuskan mengakhiri
hidup sendiri? Wallahu a’lam.
Sumber : http://dimensilain.com/mitos-misteri-rs-dustira-cimahi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar