A. PENGERTIAN G 30 S PKI
Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI
adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam tanggal 30 September
sampai di awal 1 Oktober 1965 di mana enam perwira tinggi militer
Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha
percobaan kudeta yang kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis
Indonesia.
B. Latar belakang
PKI merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar
Tiongkok dan Uni Soviet. Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah
3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan
serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani
Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk
pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan
sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan
konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh
dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat
para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan
sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin"
Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk
persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang
dinamakan NASAKOM.
Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai
memberikan 100.000 pucuk senjata chung. Penawaran ini gratis tanpa
syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga
menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S. Pada bulan Juli 1959
parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit
presiden - sekali lagi dengan hasutan dari PKI. Ia memperkuat tangan
angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke
posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi
Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat
dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu
antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan
nasionalis dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan
petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang
mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi
terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
C. PRA-PERISTIWA G 30 S PKI
1. Isu sakitnya Bung Karno
Sejak tahun 1964 sampai menjelang meletusnya G30S telah beredar isu
sakit parahnya Bung Karno. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk dan isu
perebutan kekuasaan apabila Bung Karno meninggal dunia. Namun menurut
Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya sakit ringan saja,
jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI melakukan tindakan tersebut.
Tahunya Aidit akan jenis sakitnya Sukarno membuktikan bahwa hal tersebut
sengaja dihembuskan PKI untuk memicu ketidakpastian di masyarakat.
2. Isu masalah tanah dan bagi hasil
Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria)
dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya
merupakan kelanjutan dari Panitia Agraria yang dibentuk pada tahun 1948.
Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri dari wakil pemerintah
dan wakil berbagai ormas tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai
politik pada masa itu. Walaupun undang-undangnya sudah ada namun
pelaksanaan di daerah tidak jalan sehingga menimbulkan gesekan antara
para petani penggarap dengan pihak pemilik tanah yang takut terkena
UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan melibatkan backing
aparat keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini antara lain
peristiwa Bandar Betsi di Sumatera Utara dan peristiwa di Klaten yang
disebut sebagai âaksi sepihakâ dan kemudian digunakan sebagai dalih
oleh militer untuk membersihkannya.
Keributan antara PKI dan Islam (tidak hanya NU, tapi juga dengan Persis
dan Muhammadiyah) itu pada dasarnya terjadi di hampir semua tempat di
Indonesia, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di propinsi-propinsi lain juga
terjadi hal demikian, PKI di beberapa tempat bahkan sudah mengancam
kyai-kyai bahwa mereka akan disembelih setelah tanggal 30 September 1965
(hal ini membuktikan bahwa seluruh elemen PKI mengetahui rencana kudeta
30 September tersebut).
3. Faktor Malaysia
Negara Federasi Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16 September
1963 adalah salah satu faktor penting dalam insiden ini[1]. Konfrontasi
Indonesia-Malaysia merupakan salah satu penyebab kedekatan Presiden
Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para tentara yang
menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober), dan
juga pada akhirnya menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi
Angkatan Darat.
4. Faktor ekonomi
Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah
mengakibatkan dukungan rakyat kepada Soekarno (dan PKI) meluntur. Mereka
tidak sepenuhnya menyetujui kebijakan "ganyang Malaysia" yang dianggap
akan semakin memperparah keadaan Indonesia.
Inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi,
rakyat kelaparan dan terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan
barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Beberapa faktor yang berperan
kenaikan harga ini adalah keputusan Suharto-Nasution untuk menaikkan
gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa
yang menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut,
banyak rakyat Indonesia yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang,
umbi-umbian, gaplek, serta bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi
lainnya; pun mereka menggunakan kain dari karung sebagai pakaian mereka.
Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas
pembunuhan keenam jenderal tersebut, yang berakibat adanya backlash
terhadap PKI dan pembantaian orang-orang yang dituduh anggota PKI di
Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-tempat lainnya.
D. PERISTIWA G 30 S PKI
Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal senior dan beberapa orang
lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal
istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu
dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat
saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap
gerakan tersebut.
E. Korban
Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
a. Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf
Komando Operasi Tertinggi)
b. Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang
Administrasi)
c. Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD
bidang Perencanaan dan Pembinaan)
d. Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang
Intelijen)
e. Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD
bidang Logistik)
f. Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal
Angkatan Darat)
Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat
dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani
Nasution dan ajudan beliau, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam
usaha pembunuhan tersebut.
Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
a. Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana
Menteri II dr.J. Leimena)
b. Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas,
Yogyakarta)
c. Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas,
Yogyakarta)
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede,
Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3
Oktober.
Pasca pembunuhan beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua sarana
komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor
Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI
menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada
para perwira tinggi anggota âDewan Jenderalâ yang akan mengadakan
kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya âDewan
Revolusiâ yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.
Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap
Kolonel Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel
Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada
sore hari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas
menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi. Pada tanggal 1 Oktober 1965
Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan
Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan
Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.
Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan
"persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan
para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite
Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi
massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan
angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama
"Tribune".
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet Brezhnev,
Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno: "Kita dan
rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah
membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio
kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari
kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."
Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi
Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat
presiden Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto disumpah[5]:
â
Saya perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan
Darat pimpinannya saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu
Angkatan dari pada Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada
Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca Azimat Revolusi,
yang sama sekali berdiri di atas Trisakti, yang sama sekali berdiri di
atas Nasakom, yang sama sekali berdiri di atas prinsip Berdikari, yang
sama sekali berdiri atas prinsip Manipol-USDEK.
Manipol-USDEK telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai
haluan negara Republik Indonesia. Dan oleh karena Manipol-USDEK ini
adalah haluan daripada negara Republik Indonesia, maka dia harus
dijunjung tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan
Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan Kepolisian Negara. Hanya
jikalau kita berdiri benar-benar di atas Panca Azimat ini, kita
semuanya, maka barulah revousi kita bisa jaya.
Sumber : http://dokumen.tips/documents/pengertian-g-30-s-pki.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar